Jumat, 20 Januari 2012

Hati Kecil Kaum Jalana

Sadar pada diri yang kian rapuh
Kadang ku termenung di malam mencekam
Sadar pada diri yang makin tertinggal
Untuk melangkah meraih masa depan
Kini sesal yang tertinggal
Sementara waktu terus berlalu
Waktu ku kini sia-sia
Melangkah bersama dosa..



Bagaikan melihat bunga2 yg layu
Kering diantar kemarau
Yang mencoba bangkit dari kematian
Tuk memulai hidup yg baru
Hati kecil kaum jalanan
Apakan kita sudahi perjalanan ini..
Kami butuh jawaban…
Dari sang penguasa







#Untuk adek-adek yang Q sayang.......
Never give up n keep fight for our live... ^_^

Minggu, 15 Januari 2012

Tujuan Hidup Manusia


Manusia dalam perkembangan kebutuhan menurut Abraham Maslow bahwa kebutuhan manusia pada piramida yang tertinggi yakni kebutuhan yang bersifat abstrak yakni pada dunia spiritual dan religiusitas. Sedangkan pada tingatan yang paling bawah yakni manusia memenuhi kebutuhan dengan makan dan minum sehingga untuk memuaskan kebutuhan biologisnya. Setelah kebutuhan biologis terpenuhi maka secara langsung meningkat pada kebutihan yang berikutnya yakni kebutuhan akan kasih sayang, ketentraman, dan rasa aman. Kebutuhan itu, terpenuhi maka yang diinginkan adalah mengaktualisasikan diri agar dapat berkembang. (Jalaluddin Rakhmat, Madrasah Ruhani; Berguru pada Ilahi di Buan Suci). Pengungkapan kebutuhan yang telah diuraikan oleh Abraham Maslow tersebut yang dilakukan oleh manusia dalam tujuan hidupnya merupakan peningkatan kebutuhan yang bersifat transenden dalam mengharapkan perjumpaan dengan yang menciptakan.
Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Q.S Al Fajr 27-30)
Jiwa yang tenang merupakan perkembangan jiwa spiritual yang tertinggi dan konsep tersebut dekat dan dikembangkan oleh kaum sufi. Ketika melihat manusia maka dalam esensinya merupakan jiwanya hal tersebut dikarenakan jiwa yang mencerminkan dari perbuatan kita. Misalkan seorang dikatakan kikir dikarenakan jiwanya yang kikir.  (M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci). Jiwa yang tenang merupakan cita-cita yang dimiliki oleh masnusia sebagai hamba Tuhan yakni kembali pada Tuhan dengan ridho-Nya. Proses kembalinya jiwa yang tenang ini merupakan suatu konsep menyatunya mahluk dengan pencipta-Nya yang dapat kita lihat pada orang para nabi dan orang sufi.
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual  yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya. Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi'raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999) 
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami, Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan bertemunya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi'raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia. Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi. Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi  rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam.
Kita mengetahui bahwa proses akhir kehidupan setelah didunia adalah mengharapkan perjumpaan kembali dengan-Nya. Proses perjumpaan kembali ini dapat terjadi terjadi sebelum kita meninggalkan dunia dan setelah kita meninggalkan dunia. Perjumpaan manusia dengan Pencipta setelah meninggalkan dunia merupakan final kehidupan dan pengharapan setiap manusia. Tetapi, sekarang proses perjumpaan tersebut dapat dilakukan oleh sebelum orang tersebut tiada, hal ini terjadi pada peristiwa isra’mi’raj nabi Muhammad dan masa ekstase orang sufi dalam beribadah. Perjumpaan tersebut sangat menyenangkan dan menggairahkan dikarenakan itu merupkan tujuan akhir manusia dalam kehidupannya.
Perjumpaan dengan Pencipta bagi orang yang berkesadaran mistik merupakan sudah final apa yang harus dilakukan oleh manusia karena tujuan manusia kembali pada kehadirat-Nya dalam keadaan tenang dan masuklah ke dalam surga-Ku. Ketika menganggap bahwa perjumpaan dengan Tuhan dianggap sudah final maka manusia hanyalah lebih asyik dengan ritual beribadah dan mengharapkan ridha’-Nya. Manusia lebih memilih untuk terus menyatu pada-Nya tanpa berusaha kembali pada realitasnya dan mereka lebih cenderung melupakanya. Hal ini merupakan alamiah dikarenakan tujuan dari kehidupan manusia mengharapkan bertemu dengan Penciptanya. Kesadaran  tersebut dikenal dengan kesadaran mistik dikarenakan kesadarannya digunakan untuk kepentingan individu tanpa melakukan perubahan social.
Manusia yang telah mengalami perjuampaan dengan Tuhan bagi yang bersifat individual sudah dianggap final dikarenakan itulah tujuan manusia dalam kehiduapannya. Hal tersebut akan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh nabi ketika setalah berjumpa dengan Tuhan. Nabi setelah mengalami perjumpaan dengan Tuhan, mereka lebih aktif lagi dalam melakukan perubahan social guna tercipta masyarakat yang berkeadilan. Perjumpaan dengan Tuhan tersebut sebagai sarana membangkitkan semangat untuk melakukan transformasi yang berkeadilan dalam rangka beribadah kepada Tuhan. Kesadaran tersebut merupakan kesadaran kenabian sebagai manusia yang terlibat dalam sejarah dan menentukan jalannya sejarah yang berkeadilan.
Manusia dalam pandangan ikatan manusia berkesadaran kenabian yang berupaya melakukan transformasi sesuai dengan kompentensi yang dimiliki oleh masing-masing kader. Manusia ini mengaktualkan potensi yang ada agar berubah menjadi eksistensi sehingga terlaksananya kedudukan manusia sebagai kholifah yang bertugas memakmurkan bumi dalam rangka beribadah pada Tuhan. Pengaktualan tersebut menjadikan manusia berkarter insan kamil yang memberikan kebahagian terhadap sesama atapun alam.