Rabu, 06 Juli 2011

Penggalian Hakekat Manusia

Kata yang berkaitan dengan manusia dalam al Qur’an paling tidak ada tiga macam yakni pertama, menggunakan huruf alim, nun dan sin semacam insane, ins, nas, dan unas. Kedua, menggunakan kata basyar dan ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan zuriyat Adam. Selanjutnya pengungkapan kata manusia lebih menggunakan kata basyar dan insane. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya pemampakan suatu yang baik dan indah. Kata basyar juga menunjukan suatu proses tentang kejadian manusia sampai tahap kedewasaan. Selanjutnya kata insane merupakan penunjukan tentang seluruh totalitas manusia seperti jiwa, dan raga manusia yang berbeda satu dengan yang lain. (H.A. Sholeh Dimyati, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia). 
Pengambaran manusia juga tertuang dalam sebuah perkatan Nabi yang berisi tentang hati untuk mengungkapkan kondisi manusia;
“Dalam tubuh manusia ada sebuah segumpal daging apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia, taukah apakah segumpal daging itu? Segumpal daging itu adalah hati. “  
Melihat hadist tersebut hati merupakan bagian yang fundamental dari manusia. Dalam tradisi kaum sufi hati merupakan yang penting dalam memgambarkan perjalanan spiritual dan organ yang memendam misteri-misteri Ilahi. Hati merupakan berjalan langsung dalam pengembaraan menuju kesempurnaan batin. Kaum sufi mempercayai di dalam hati adanya realitas dari dunia yang tak berbentuk dan kesatuan wujud. Hal tersebut dikarenakan ketika manusia berdialog dengan Tuhan terjadi di dalam hatinya dan hatinya pun dapat menyaksikan serta merasakan kehadiran Tuhan. (Sara Sviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara).  Hati manusia dalam ajaran agama Islam diidentikan dengan seperangkat pengetahuan dan bukan seperangkat emosi, kadang-kadang digambarkan barzakh (tanah-genting). Hati juga memisahkan dan sekaligus menyatukan “dua lautan“ yang bersifat Illahiah ataupun yang bersifat duniawi. (Charles Le Gai Eaton, Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam).      
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah yang ada dalam kehidupan ini. Begitupula dengan peradaban hari ini pun didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  Muhammad Iqbal memandang manusia dengan ego, sedangkan ego memiliki sifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Iqbal tentang ego ini dapat membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant. Kant berpendapat bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijadikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan, moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Menurut Muhammad Iqbal bahwa ego terbagi menjadi tiga macam; pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme  memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Muhammad Iqbal menolak pendangan ego yang bersifat patheisme dikarenakan ego manusia adalah nyata, hal tersebut diketahui dengan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Muhammad Iqbal menolak empirisme jika orang yang tidak dapat menyangkal pengalaman dan tentang yang menyatukan pengalaman dalam kehidupan. Muhammad Iqbal juga tidak sependapat dengan rasionalisme, dikarenkan ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya).  Ego dalam pengertian Muhammad Iqbal adalah bebas, terpusat, dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Muhammad Iqbal  menggambarkan aktivitas  ego pada esensinya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergerak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang paling menakjubkan. Jantung manusia memompa 4,5 liter darah setiap menit hidupnya. Tubuh manusia mengandung 2,5 milyah sel darah merah, dan 2,5 milyar sel darah putih, yang berfungsi sebagai bagian yang terpenting dalam kekebalan tubuh.  Otaknya terdiri dari 3 pon benda seperti adonan berwarna putuh dan keabu-abuan dan milyaran komponen yang bekerja. Dalam sekejap otak dapat melakukan ribuan komunikasi yang saling terhubung. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya yakni nafs, keakuan, diri, ego. Pada tahap ini semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada ketauhidan hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).  Penggabungan nafs yang actual ini menjadikan manusia yang berkembang sehingga  mewujudkan manusia yang “ideal” yang berpusat pada yang menciptakan dan untuk melihat dan bersama-Nya. Usaha yang dilakukan oleh manusia dalam tahapan tersebut merupakan suatu hal yang biasa, dikarenakan semua itu pernah dilakukan oleh orang-orang sufi dan pengaplikasiannya dalam kehidupan agar dapat berjalan harmonis dan selaras dengan alam.
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004).
Proses penciptaan manusia merupakan suatu kejadian yang terkecil dari apa yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia terbuat dari tanah liat, atau Lumpur, kemudian di tiupkan oleh Allah roh-Nya, lalu diciptakan indera pendengaran, penglihatan dan hati. Manusia juga diminta untuk merenungkan dirinya yang bgitu remeh. Bahan yang membentuknya hanyalah segumpal tanah atau tanah liat. Kemudian datang kehidupan dan reproduksi kehidupan manusia melalui sperma (air mani), yang merupakan sari pati tiap bagian tubuh lak-laki. Cairan tersebut merupakan sel-sel hidup yang terbentuk dari sari pati asal usul kehidupan nenek moyang. Ovum atau telur betina dibuahi oleh sperma jantan maka terbentuklah suatu kehidupan pribadai yang terwujud, dan berangsur-angsur membentuk rupa. Anggota badan terbentuk, kehidupan hewani mulai berfungsi dan semua adaptasi yang indah lahir.  Setelah itu roh Tuhan ditiupkan kepadanya. Kemudian ia terangkat lebih tinggi dari pada hewan dan sebagai seorang mansuia ia memperoleh kecerdasan yang lebih tinggi dan kemampan untuk mendengarkan ajaran Allah, penglihatan batin, serta hati nurani yang memahami kehidupan batin.  (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).  
Dalam ayat al Qur’an membincangkan asal usul manusia sebagai wujud yang hidup, al Qur’an menggunakan perkataan basyar atau insane bukan Adam yang disediakannya bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia. Penggunaan Adam dalam menjelaskan eksistensi manusia yang ada di Qur’an merupakan sebuah konsep, dari pada sebuah manusia yang nyata. (Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978)
Manusia dalam konsep Al-Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian Adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah Adam dapat diredusir menjadi rumus;
 Ruh Tuhan + Lempung Busuk                      Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliauan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  
Roh merupakan sumber perbedaan antara lumpur dengan manusia, energi yang sangat menakjubkan dan kekuatan relative yang tak terbatas. Energi ini tidakhanya terbatas pada adam, tetapi ada dalam setiap manusia sejak awal penciptaan manusia. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).   Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  
Manusia juga diberikan anugerah berupa kemampuan otak yang sangat dasyat dalam pengungkapan kebenaran. Disamping itu, manusia diberikan Tuhan berupa sarana wahyu, melalui orang-orang yang kedudukan rohaninya sangat tinggi. Kalau manusia bersyukur dia akan menerima bimbingan atau petunjuk tersebut menjadi orang-orang yang beriman dan bersama-sama menjadi orang-orang yang mendapatkan kebahagian. Kalau tidak, dia mengingkari tujuannya, merantai dirinya sendiri, jadi kehilangan kebebasannya dan membebani diri dalam dosa. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).  
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menuju lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan  dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh Socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri maka ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kritis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No
Eksistensi manusia
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)
Basic Human Values (Basic Islamic Values)
Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1
Al Insan
Rasa ingin tahu
Intelektual
Intelektual
2
Al Basyar
Rasa lapar, haus, dingin
Biologis
Biologis
3
Abdullah
Sarat ingin berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan
Spiritual
Spiritual
4
An-Nas
Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian
Sosial
Sosial
5
Khalifah fil ardli
Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
Estetika
Estetika

Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar