Selasa, 12 Juli 2011

Kedudukan dan Peran Manusia

Ketahuilah bahwa Allah telah memililih beberapa manusia sebagai seorang yang memberi kabar kepada manusia yang lain. Allah memulikan mereka dengan mendapatkan firman-Nya dan mereka mampu untuk mengetahui-Nya. Mereka merupakan media penghubung Allah dengan Hamba-Nya, mereka merupakan hamba Allah yang terbaik dan menggerakan hatinya untuk mencari pentujuk sendiri tentang kebenaran dan mereka menyelamatkan manusia yang lain dari kesesatan serta memberikan petunjuk pada keselamatan. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah).
Pengungkapan surga yang terjadi pada nabi adam adalah suatu yang sederhana. Hal tersebut, dikatakan oleh Muhammad Iqbal sebagai berikit: bahwa jannah dalam al Qur’an merupakan suatu gagasan suatu keadaan primitive dimana manusia praktis tidak ada hubungannya dengan ligkungan dan sebagai akibat dari tiada merasakan desakan dari kebutuhan manusia yang kelahirannya merupakan suatu tanda-tanda dari kebudayaan umat manusia. (Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978). Hal ini juga dijelaskan dalam surat at Thoha;
Tidak kan lapar padanya dan tidak akan telanjang … dan tidak akan dahaga dan tidak akan merasakan panas. (QS. Thoha;118-119)
Proses kejatuhan Adam tidak ada hubungannya dengan munculnya manusia pertama kali di bumi, tetapi tujuannya adalah untuk menunjukan kebangunan manusia dari kedudukan nafsu instingtifnya yang sederhana kepada pilihan sadari dari sesuatu diri yang bebas yang sanggup bercuriga dan melawan. Kejatuhan tersebut bukanlah kehilangan moral tetapi merupakan peralihan kesadaran yang sederhana menuju cahaya pertama dari kesadaran diri, seperti sadar dari mimpi dan sadar tentang sebab musabab mengenai dirinya sendiri. Bahkan dalam al Qur’an digambarkan bumi bukanlah sebaai ruang siksa yang pada dasarnya manusia adalah buruk dipenjarakan karena dosa asal. Sikap tidak patuh yang pertama merupakan untuk memilih secara merdeka, oleh karena itu pelanggaran pertama dalam tersebut dimaafkan. Kebaikan bukanlah soal paksaan tetapi penyerahan secara bebas dari diri untuk sebaik-baiknya moral dan timbul dari kerjasama yang rela dari diri yang merdeka.  Kemerdekaan merupakan syarat kebaikan. Kemerdekaan untuk memilih yang baik mengandung juga kemerdekaan untuk memilih yang tidak baik. Tuhan telah mengambil resiko dengan menunjukan kepercayaan kepada manusia dan sekarang bagi kita adala menjaga kepercayaan tersebut. (Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978).  Hal ini, juga dijelaskan dalam surat at Tin tentang kedudukan mulia dan kejatuhan drajat manusia ke yang hina.   
Pengungkapan manusia yang paripurna yakni Adam ada termaktub dalam Al Qur’an yang layak sebagai pemimpin umat. Adam mengatur keperluan hidup umatnya pada pokok dasarnya yakni keperluan air, sandang, papan. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan manusia sepanjang masa. Jika kebutuhan itu terpenuhi secara adil maka yang akan terjadia adalah kentenraman dan hidup yang lebih damai. (H.A. Sholeh Dimyati, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia). Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Manusia ditetapkan sebagai kholifah yang berarti sebagai pengganti generasi sebelumnya atapun seornag nabi dan penerus misi sebelumnya. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi.
Islam memandang manusia sebagai kholifah Tuhan di bumi dan sebagai proyeksi dimensi vertical kedalam tataran horizontal. Hal tersebut dikarenakan manusia yang memiliki akal mengetagui realitas dia sendiri dan menjadi salah satu manifestasinya. Ia dapat bangkit melalmpaui egonya yang bersifat duniawi dan kontigen. Kemampuannya yang berbicara tersebut dia dapat berdialog dengan Tuhan sebagai teman bicaranya. Manusia merupakan cerminan yang di dalamnya terpantul nama dan sifat-sifat Allah yang dihadapan-Nya berdiri tegak dan untuk selama-lamanya. (Charles Le Gai Eaton, Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam).   
Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi. Manusia berkedudukan sebagai kholifah sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Yang disebut sebagai wakil Tuhan ada dua macam yakni perwujudan dari sulton sebagai kepala Negara dan fungsi manusia di muka bumi sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. (M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci). Kholifah disini merupakan berarti sebuah kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan dalam rangka memakmurkan dan mengembangkan bumi dalam rangka kita beribadah pada Allah. Pemberian kholifah ini dikarenakan potensi yang mengaktual pada manusia dijalankan secara selaras dan seimbang.  
Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.  Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana  harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Tindakan manusia yang sesuai dengan aturan tersebut sehingga terciptalah kemakmuran dunia sebagai rangkain ibdah kepada Allah.     

Rabu, 06 Juli 2011

Penggalian Hakekat Manusia

Kata yang berkaitan dengan manusia dalam al Qur’an paling tidak ada tiga macam yakni pertama, menggunakan huruf alim, nun dan sin semacam insane, ins, nas, dan unas. Kedua, menggunakan kata basyar dan ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan zuriyat Adam. Selanjutnya pengungkapan kata manusia lebih menggunakan kata basyar dan insane. Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya pemampakan suatu yang baik dan indah. Kata basyar juga menunjukan suatu proses tentang kejadian manusia sampai tahap kedewasaan. Selanjutnya kata insane merupakan penunjukan tentang seluruh totalitas manusia seperti jiwa, dan raga manusia yang berbeda satu dengan yang lain. (H.A. Sholeh Dimyati, Tinjauan Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan tantang Manusia). 
Pengambaran manusia juga tertuang dalam sebuah perkatan Nabi yang berisi tentang hati untuk mengungkapkan kondisi manusia;
“Dalam tubuh manusia ada sebuah segumpal daging apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia, taukah apakah segumpal daging itu? Segumpal daging itu adalah hati. “  
Melihat hadist tersebut hati merupakan bagian yang fundamental dari manusia. Dalam tradisi kaum sufi hati merupakan yang penting dalam memgambarkan perjalanan spiritual dan organ yang memendam misteri-misteri Ilahi. Hati merupakan berjalan langsung dalam pengembaraan menuju kesempurnaan batin. Kaum sufi mempercayai di dalam hati adanya realitas dari dunia yang tak berbentuk dan kesatuan wujud. Hal tersebut dikarenakan ketika manusia berdialog dengan Tuhan terjadi di dalam hatinya dan hatinya pun dapat menyaksikan serta merasakan kehadiran Tuhan. (Sara Sviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara).  Hati manusia dalam ajaran agama Islam diidentikan dengan seperangkat pengetahuan dan bukan seperangkat emosi, kadang-kadang digambarkan barzakh (tanah-genting). Hati juga memisahkan dan sekaligus menyatukan “dua lautan“ yang bersifat Illahiah ataupun yang bersifat duniawi. (Charles Le Gai Eaton, Manusia, dalam Sayyed Hussein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam).      
Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah yang ada dalam kehidupan ini. Begitupula dengan peradaban hari ini pun didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi Tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa. (Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  Muhammad Iqbal memandang manusia dengan ego, sedangkan ego memiliki sifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Iqbal tentang ego ini dapat membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant. Kant berpendapat bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijadikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan, moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Menurut Muhammad Iqbal bahwa ego terbagi menjadi tiga macam; pantheisme, empirisme dan rasionalisme. Pantheisme  memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Muhammad Iqbal menolak pendangan ego yang bersifat patheisme dikarenakan ego manusia adalah nyata, hal tersebut diketahui dengan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada. Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan panggung teater bagai pengalaman yang silih berganti. Muhammad Iqbal menolak empirisme jika orang yang tidak dapat menyangkal pengalaman dan tentang yang menyatukan pengalaman dalam kehidupan. Muhammad Iqbal juga tidak sependapat dengan rasionalisme, dikarenkan ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya).  Ego dalam pengertian Muhammad Iqbal adalah bebas, terpusat, dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Muhammad Iqbal  menggambarkan aktivitas  ego pada esensinya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergerak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif. (Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, 2001)
Manusia merupakan mahluk yang paling menakjubkan. Jantung manusia memompa 4,5 liter darah setiap menit hidupnya. Tubuh manusia mengandung 2,5 milyah sel darah merah, dan 2,5 milyar sel darah putih, yang berfungsi sebagai bagian yang terpenting dalam kekebalan tubuh.  Otaknya terdiri dari 3 pon benda seperti adonan berwarna putuh dan keabu-abuan dan milyaran komponen yang bekerja. Dalam sekejap otak dapat melakukan ribuan komunikasi yang saling terhubung. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya yakni nafs, keakuan, diri, ego. Pada tahap ini semua unsur membentuk kesatuan diri yang aktual, kekinian dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada ketauhidan hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999).  Penggabungan nafs yang actual ini menjadikan manusia yang berkembang sehingga  mewujudkan manusia yang “ideal” yang berpusat pada yang menciptakan dan untuk melihat dan bersama-Nya. Usaha yang dilakukan oleh manusia dalam tahapan tersebut merupakan suatu hal yang biasa, dikarenakan semua itu pernah dilakukan oleh orang-orang sufi dan pengaplikasiannya dalam kehidupan agar dapat berjalan harmonis dan selaras dengan alam.
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia. Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. (Siti Murtiningsih, Pendidikan sebagai Alat Perlawanan, 2004).
Proses penciptaan manusia merupakan suatu kejadian yang terkecil dari apa yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia terbuat dari tanah liat, atau Lumpur, kemudian di tiupkan oleh Allah roh-Nya, lalu diciptakan indera pendengaran, penglihatan dan hati. Manusia juga diminta untuk merenungkan dirinya yang bgitu remeh. Bahan yang membentuknya hanyalah segumpal tanah atau tanah liat. Kemudian datang kehidupan dan reproduksi kehidupan manusia melalui sperma (air mani), yang merupakan sari pati tiap bagian tubuh lak-laki. Cairan tersebut merupakan sel-sel hidup yang terbentuk dari sari pati asal usul kehidupan nenek moyang. Ovum atau telur betina dibuahi oleh sperma jantan maka terbentuklah suatu kehidupan pribadai yang terwujud, dan berangsur-angsur membentuk rupa. Anggota badan terbentuk, kehidupan hewani mulai berfungsi dan semua adaptasi yang indah lahir.  Setelah itu roh Tuhan ditiupkan kepadanya. Kemudian ia terangkat lebih tinggi dari pada hewan dan sebagai seorang mansuia ia memperoleh kecerdasan yang lebih tinggi dan kemampan untuk mendengarkan ajaran Allah, penglihatan batin, serta hati nurani yang memahami kehidupan batin.  (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).  
Dalam ayat al Qur’an membincangkan asal usul manusia sebagai wujud yang hidup, al Qur’an menggunakan perkataan basyar atau insane bukan Adam yang disediakannya bagi manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia. Penggunaan Adam dalam menjelaskan eksistensi manusia yang ada di Qur’an merupakan sebuah konsep, dari pada sebuah manusia yang nyata. (Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pemikiran Islam, 1978)
Manusia dalam konsep Al-Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian Adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia yakni esensi kudrat ruhaniah dan atributnya, sebagaimana dilukiskan dalam kisah Adam dapat diredusir menjadi rumus;
 Ruh Tuhan + Lempung Busuk                      Manusia
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliauan yang tak terbatas. Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  
Roh merupakan sumber perbedaan antara lumpur dengan manusia, energi yang sangat menakjubkan dan kekuatan relative yang tak terbatas. Energi ini tidakhanya terbatas pada adam, tetapi ada dalam setiap manusia sejak awal penciptaan manusia. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).   Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan. (‘Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, 2001).  
Manusia juga diberikan anugerah berupa kemampuan otak yang sangat dasyat dalam pengungkapan kebenaran. Disamping itu, manusia diberikan Tuhan berupa sarana wahyu, melalui orang-orang yang kedudukan rohaninya sangat tinggi. Kalau manusia bersyukur dia akan menerima bimbingan atau petunjuk tersebut menjadi orang-orang yang beriman dan bersama-sama menjadi orang-orang yang mendapatkan kebahagian. Kalau tidak, dia mengingkari tujuannya, merantai dirinya sendiri, jadi kehilangan kebebasannya dan membebani diri dalam dosa. (Muhammad Chirzin, Al-Quran dan Eksistensi Manusia, 2008).  
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menuju lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi. Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan  dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh Socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri maka ia akan memahami Penciptanya. Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kritis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No
Eksistensi manusia
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)
Basic Human Values (Basic Islamic Values)
Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1
Al Insan
Rasa ingin tahu
Intelektual
Intelektual
2
Al Basyar
Rasa lapar, haus, dingin
Biologis
Biologis
3
Abdullah
Sarat ingin berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan
Spiritual
Spiritual
4
An-Nas
Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian
Sosial
Sosial
5
Khalifah fil ardli
Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
Estetika
Estetika

Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan. Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.       

Sabtu, 02 Juli 2011

SIAPAKAH MANUSIA

Dengan nama Allah yang maha Pengasih dan Penyayang.
Demi tin dai zaitun, dan Bukit Sinai, dan kota ini yang aman.
Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik,
kemudian Kami jatuhkan dia serendah-rendahnya
kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan.
Maka bagi mereka pahala yang tiada putusnya.
Sesudah itu, apa yang menyebabkan mereka menyangkal
 Engkau tentang hari kiamat akan datang?
Bukankah Allah Hakim yang paling bijaksana?
(QS. At-Tin 1-8)
 Pengungkapan tentang Manusia

Kejadian manusia dan asul-usulnya dipandang dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dikarenakan dari segi memandangnya yang berbeda misalnya dari segi agama ataupun ilmu pengetahuan. Pandangan agama tentang manusia juga memiliki keberagaman misalkan dalam agama Hindu manusia berkaitan erat dengan kejadian alam semerta. Pada gambaran tersebut tidak memberikan gambaran yang jelas agar dapat mudah dipahami. Kejadian manusia dalam agama ini diceritakan bahwa alam terjadi sewaktu Dewa Barahma yang sedang mandi dan tetesannya mengalir menjadi sungai Gangga, selanjutnya terjadinya alam akibat bertemunya dua dewa sehingga tercipta bulan, matahari, manusia, awan dan sebagainya. (Saleh A. Nahdi, Adam Manusia Pertama) Kisah yang lain dalam kitab Taurat menyebutkan bahwa kejadian manusia terurai dengan jelas, tercantum dalam kitab Kejadian pasal 1:2, pasal 12: 21-22 yang intinya menyatakan bahwa manusia dijadikan secara mendadak, termasuk Siti Hawa dari tulang rusuk Adam. (Lembaga Kitab Indonesia, Alkitab dengan Kidung Jemaat)
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Sedangkan dilihat dari kata dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak, dalam hal ini manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Manusia dengan cara keberadaannya sekaligus membedakan secara nyata dengan mahluk yang lain. Dalam kenyataan mahluk yang berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut, yang menentukan manusia pada hakekatnya. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan mahluk yang lain.  Manusia dalam karyanya dapat dilihat dalam seting sejarah, seting psikologis situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)        
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut sebagai homo sapiens, manusia bersikap arif karena memiliki akal budi dan mengungguli mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain). Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci. (K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, 2005)  
Marx menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya, binatang langsung menyatu dengan kegiatan hidupnya. Sedangkan manusia membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya danketurunnya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru produksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produknya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi mnurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan. Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal, bebas I dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka salah satu kebutuhan. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hnya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah menunjukan hakekat bebas dan universal.(Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, 1999).      
Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupakan pertanyaan kuno seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)
Manusia menurut Paulo Freire manusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dengan hewan yang tidak memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusia dibedakan dari hewan dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi  intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana, sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, 2002).
Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia hadapi. (Musa Asy’ari, Filsafat Islam, 1999)                 

Salam Redaksi

Assalamu'alaikum wr wb.

Alhamdulillah, aktivitas Cahaya Bulan bisa terbi dihadapan pengunjung semua. Kami sebagai pengelola mengucapkan banyak terima kasih kepada semua netter yang telah meramaikan situs ini. Situs ini dibangun demi kepentingan dakwah via tulisan di dunia maya. Semoga saja mampu memberikan kontribusi dalam dinamika dakwah Islam saat ini. Memberikan informasi yang mendidik dan mencerahkan siapa pun.
Insya Allah situs ini akan terus kami perbaiki dan tingkatkan kualitasnya, juga kuantitas artikel yang ada. Pada pekan ini, alhamdulillah mulai menampilan rubrik terbarunya.  Rubrik ini insya Allah akan di-update setiap pekan. Sementara ini saja salam dari redaksi pekan ini. Semoga bermanfaat.

Abadi Perjuangan........!!
Billahi fii sabililhaqq, fastabiqul khairat
Wassalamu'alaikum wr wb.